Serangan Oryctes rhinoceros dan Dampaknya pada Sawit Produktif

0
Oryctes rhinoceros di batang kelapa sawit

Serangan Oryctes rhinoceros atau kumbang tanduk sudah lama menjadi ancaman nyata bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Awalnya, serangan ini hanya terdeteksi pada tanaman muda (TBM). Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa tanaman menghasilkan (TM) pun rentan diserang, menyebabkan penurunan produktivitas yang cukup signifikan.


Penyebab Populasi Oryctes rhinoceros Tinggi

Populasi kumbang tanduk di kebun sawit meningkat tajam terutama karena tersedianya breeding site yang sangat melimpah. Sumber utama tempat berkembang biaknya antara lain:

Oryctes rhinoceros di batang kelapa sawit
  • Batang kelapa sawit bekas replanting yang membusuk di lapangan.
  • Tandan kosong kelapa sawit (EFB) yang terus menumpuk setiap tahun.
  • Kebijakan zero burning yang membuat sisa bahan organik tetap berada di kebun sehingga menjadi media ideal bagi kumbang bertelur.

Selain itu, populasi hama ini juga sering diperparah oleh adanya serangan sinergis dengan hama lain seperti Rhynchophorus spp.


Gejala Serangan pada Tanaman Menghasilkan

Serangan Oryctes rhinoceros dapat dilihat dari beberapa ciri, antara lain:

  • Lubang gerekan pada pelepah yang tampak seperti pola kipas.
  • Daun muda yang patah atau rusak.
  • Pertumbuhan tanaman menjadi kerdil.
  • Jumlah buah per tandan menurun drastis.

Jika serangan terjadi terus-menerus, banyak tanaman menjadi non-value atau tidak produktif.


Dampak Serangan Berdasarkan Studi Kasus

Di Kebun Ambalutu, PTPN III Sumatera Utara, serangan kumbang tanduk tercatat menyebabkan kematian tanaman dengan persentase bervariasi. Berikut datanya:

AfdelingLuas (ha)Pohon mati karena Oryctes% kematianProduksi 2006 (ton/ha)
II129,9130,09%18,32
III72,792612,73%12,08
IV22,531211,49%13,44

Afdeling III mengalami serangan paling berat. Jumlah tanaman mati tinggi, dan produktivitas turun hingga hanya sekitar 12 ton per hektar, jauh di bawah potensi optimal.


Mengapa Produktivitas Turun?

Serangan Oryctes rhinoceros menyebabkan banyak tanaman menjadi non-value. Akibatnya:

  • Tanaman rusak sulit merespons pemupukan.
  • Ukuran dan jumlah buah per tandan berkurang.
  • Siklus panen terganggu karena tanaman tidak tumbuh normal.

Bahkan dengan pemupukan optimal, tanaman yang sudah terserang parah tetap tidak bisa pulih sepenuhnya.


Strategi Pengendalian Oryctes rhinoceros

Pengendalian Oryctes rhinoceros yang berhasil memerlukan pendekatan terpadu, di antaranya:

1. Feromon agregat sintetik
Sebagai alat monitoring dan penangkap massal kumbang jantan. Teknik ini cukup ramah lingkungan dan sudah banyak dipakai di perkebunan besar.

2. Sanitasi breeding site
Melakukan pembersihan batang lapuk dan pengelolaan tandan kosong agar tidak menjadi tempat bertelur kumbang.

3. Pengutipan larva (hand-picking)
Cara ini masih efektif, terutama pada kebun yang baru selesai replanting.

4. Pemanfaatan agen hayati
Menggunakan jamur Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan larva kumbang di media perkembangbiakan.

Untuk penjelasan lebih lengkap tentang pendekatan terpadu ini, Anda bisa membaca artikel kami tentang Pengendalian Hama Sawit Secara Terpadu.


Pentingnya Pendekatan Terpadu

Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa hanya mengandalkan satu metode pengendalian sering tidak cukup. Penggunaan feromon, sanitasi, pengutipan larva, dan agen hayati secara bersamaan jauh lebih efektif menekan populasi kumbang hingga di bawah ambang ekonomi.

Monitoring rutin juga sangat penting untuk mengetahui perkembangan populasi kumbang dan menyesuaikan strategi pengendalian.


Kesimpulan

Serangan Oryctes rhinoceros sudah bukan hanya masalah pada tanaman muda, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi tanaman menghasilkan. Dampaknya nyata: kematian tanaman, penurunan produksi, dan meningkatnya biaya perawatan kebun.

Dengan pendekatan terpadu yang berkelanjutan, perkebunan sawit dapat menjaga populasi kumbang tanduk tetap terkendali dan memastikan hasil panen tetap optimal. Informasi lebih lanjut dan rekomendasi teknis juga dapat ditemukan melalui sumber resmi seperti Indonesian Oil Palm Research Institute (IOPRI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *